Hari ini saya hendak bercerita tentang seorang perempuan berusia 66
tahun yang saya temui di Rumah Budaya Fadli Zon yang terletak di
Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, beberapa waktu lalu. Obrolan ini
berlangsung mulai dari Rumah Budaya Fadli Zon di Aie Angek, Tanah Datar,
dilanjutkan ke Bukit Tinggi, hingga saat menunggu di Bandara
Minangkabau, Kota Padang, Sumbar.
Evawani, begitu nama perempuan
itu. Dia putri dari seorang perempuan yang pernah direkam dalam satu
puisi karya Chairil Anwar. Judulnya "untuk H". Ya, dia memang putri
Hapsah Wiraredja dari pernikahannya dengan penyair Chairil Anwar.
Eva
yang kelahiran tahun 1947 tidak pernah mengenali ayah kandungnya yang
mangkat ketika Eva berusia satu tahun. Bahkan ketika Eva beranjak besar
pun, ibundanya tidak segera memberi tahu jika dia adalah anak Chairil.
Tiap kali bertanya pada Hapsah, siapa gerangan ayahnya, Eva hanya
mendapat jawaban pendek bahwa ayahnya adalah Ahad Natakusumah.
Padahal
ya padahal, Eva tulen anak dari Chairil Anwar, penyair besar negeri
ini. Chairil Anwar yang lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922,
dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949. Dialah penyair yang beroleh
julukan "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul "Aku"). Dialah
penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, dia
dinobatkan oleh HB Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi
modern Indonesia.
Chairil dibesarkan di Medan. Pada tahun 1940
saat Chairil berusia 19 tahun, seusai perceraian orangtuanya, Chairil
bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta). Walau telah
bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Semenjak di Jakarta
itulah Chairil mulai menggeluti dunia sastra. Setelah memublikasikan
puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya
menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian,
individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang
multi-interpretasi.
***
Eva menawari saya mencari durian ke
Bukit Tinggi pada malam sebelum kami meninggalkan Tanah Datar. Saya tak
kuasa menolak, manisnya durian Bukit Tinggi mengalahkan penat seharian.
Di atas mobil yang dikemudikan oleh menantu Eva, saya pun terus bertanya-tanya tentang apa yang diingat Eva saat masih kecil.
Ketika
Eva kelas III di SD Manggarai, dulu Sekolah Rakyat Latihan (SRL),
sebuah sekolah percontohan, dia sempat difoto. Katanya, untuk dipasang
di bukunya HB Jassin. Tak berapa lama, gurunya di kelas III, memanggil
dirinya seraya memberi tahu,"Iip, ini ayah kamu," ujar Pak Guru menyapa
nama panggilan Eva di masa kecil. Lantas guru itu pun bercerita bahwa di
buku itu HB Jassin bercerita mengenai Chairil dan Eva sebagai putrinya.
Eva
pun mengenang kisah ayahnya dari HB Jassin. Menurut Jassin, ayahnya
merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya
berasal dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir
ayahnya adalah sebagai Bupati Indragiri, Riau. Ia masih punya pertalian
keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Sebagai anak tunggal, orangtuanya selalu memanjakannya. Namun, Chairil
cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun;
sedikit cerminan dari kepribadian orangtuanya.
Chairil Anwar
mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS),
sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia
kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia
tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman.
Meskipun
tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai
bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi
jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama,
seperti Rainer Maria Rilke, WH Auden, Archibald MacLeish, Hendrik
Marsman, J Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut
sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan
kesusasteraan Indonesia.
"Setahu saya, bapak saya adalah Ahad Natakusumah, yang ternyata bapak tiri saya. Sampai di rumah, saya nanya ke mama, apakah benar saya anak Chairil Anwar. Tapi mama malah bilang kalau itu salah cetak," kenang Eva.
Eva
menuturkan, sebelumnya, para tetangga sebetulnya sudah menyinggung
kalau dirinya mirip Chairil, terutama dari bawah mata ke atas. "Kalau
hidung ke bawah mirip mama."
Tetapi, apa kata Hapsah mengenai
penuturan para tetangga bahwa dia mirip Chairil? "Mama bilang, 'Oh, itu
tetangga kita yang sayang sekali sama kamu. Kamu anak mama sama Pak
Ahad'," Eva menirukan penuturan ibunya.
Namun, akhirnya rahasia
itu terbongkar juga. Om Ibrahim, adik Hapsah, berterus terang kepada
Eva. "Beliau bilang bahwa benar saya ini anak Chairil. Saat itu saya
berumur delapan tahun. Akhirnya mama enggak bisa mengelak, mama bilang
papa pergi pas saya umur setahun."
Ya, Chairil pergi menghadap ke
Ilahi sebelum genap 27 usianya, sementara Eva masih satu setengah
tahun. Namun, dalam usia semuda itu nama Chairil telah terkenal dalam
dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di majalah Nisan pada
tahun 1942. Saat itu ia baru berusia 20 tahun. Dan seperti yang kita
kenal kini, puisi-puisi Chairil 'berwarna' kelam. Entahlah, barangkali
Chairil sudah merasa, kematiannya telah dekat. Maka, hampir semua
puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian.
Namun, saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka
untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu
individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran
Bersama Asia Timur Raya. Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta,
Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati, tetapi hingga akhir hayatnya
Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.
Puisi-puisinya
beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia
dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945. Kemudian ia memutuskan untuk
menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946 di Karawang. Kata
Eva, hiasan pelaminannya dari bunga teratai yang harus sering diganti
karena cepat layu. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani
Alissa, tetapi bercerai pada akhir tahun 1948.
***
Setelah
pengakuan Hapsah, Chairil bagi Eva bukanlah seorang asing yang berada di
sampul buku puisi. Chairil telah menjadi ayah, meski berada di alam
lain. Maka pada suatu hari, ibunda Eva memberinya sebuah buku berjudul Deru Campur Debu.
Alangkah terkejutnya Eva, ternyata di halaman pertama buku tersebut ada
tulisan begini, "Ip, buku banyak salah cetak, nanti kalau kita banyak
uang kita bikin percetakan sendiri."
Sayang disayang, buku
tersebut hilang sewaktu dipinjam Sjumanjaya yang kala itu hendak membuat
film otobiografi Chairil. Turut hilang pula waktu itu selembar tulisan
tangan Chairil berupa puisi berjudul "Buat H".
Sebagai seorang
penyair, tentu tak banyak harta yang ditinggalkan Chairil buat istri dan
anaknya. Menurut Eva, kala dirinya masih kecil, ada radio peninggalan
Chairil yang dijual oleh ibundanya.
Yang ditinggalkan Chairil
untuk Eva melalui Hapsah hanyalah pesan agar kelak Eva memanggilnya
Chairil saja. "Aku kan masih muda, nanti Iip memanggilku Chairil saja.
Aku berharap Iip jadi anak yang pintar seperti aku dan tekun seperti
kamu," ujar Eva menirukan kata-kata ibunya yang kala itu bekerja di
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
***
Mengenang Chairil
adalah mengenang seorang penyair yang memiliki pesona yang tiada
tandingannya kala itu, bahkan mungkin hingga kini. Saat Chairil
meninggal, yang mengantar kepergian Chairil yang meninggal akibat
disentri dan kolera di RSCM, tak putus dari RSCM pemakaman di Pemakaman
Karet.
Karet Bivak adalah kuburan yang telah dinujumkan oleh
Chairil sendiri melalui puisinya "Yang Putus dan Yang Terempas". Pada
puisi tersebut, Chairil menulis... "Di Karet.., di Karet.., daerahku
yang akan datang."
Ya ya, vitalitas puitis Chairil tidak pernah
diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah
penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah
Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo), Jakarta, pada
tanggal 28 April 1949. Penyebab kematiannya tidak diketahui pasti,
menurut dugaan, lebih karena penyakit TBC. Namun, menurut Eva, ayahnya
meninggal karena disentri. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman
Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan
pengagumnya
dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu
diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal
Belanda, A Teeuw, menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati
muda, seperti tema menyarah yang terdapat dalam puisi berjudul "Jang
Terampas
Dan Jang Putus".
Selama hidupnya, Chairil telah
menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak
dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul
"Cemara Menderai Sampai Jauh" ditulis pada tahun 1949, sedangkan
karyanya yang paling terkenal berjudul "Aku" dan "Krawang Bekasi". Semua
tulisannya baik yang asli, modifikasi, maupun yang diduga dijiplak,
dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat.
Kompilasi pertama berjudul Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
***
Eva
yang kelahiran tahun 1947 dikarunia 3 anak dan 4 cucu, dari pernikahann
dengan almarhum Ibnu Sawarno. Anak pertamanya yang bernama Selectia
Rizka menuruni bakat kakeknya dalam menulis puisi.
Eva, yang
berprofesi sebagai notaris, mengaku bangga sebagai anak Chairil. "Dalam
usia muda, Chairil memiliki karya yang berkualitas sehingga sampai saat
ini digemari masyarakat. Puisi-puisinya banyak diterjemahkan ke berbagai
bahasa," begitu kata Eva, bangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar