Jumat, 22 November 2013

Novel John Grisham dan Pesta Demokrasi



Novel John Grisham dan Pesta Demokrasi



Maka, paling tidak bacalah novel The Appeal karya John Grisham. Tidak, novel ini tak bertele-tele bicara soal pemilu dan jabatan politik yang diperebutkan.

Alih-alih bercerita soal pesta demokrasi sebatas pemilu sebagaimana yang dipahami sebagian besar dari kita, The Appeal menjalin cerita dari sebuah kasus hukum pencemaran lingkungan.

Awal cerita

Adalah sebuah perusahaan kimia multinasional, yang membayar murah para pekerja di suatu wilayah dan membuang limbah langsung ke tanah, kalah di pengadilan negara bagian dengan hukuman denda total mencapai 41 juta dollar AS. Dalam rupiah, kalau pakai kurs hari ini, denda itu setara sekitar Rp 450 miliar.

Perusahaan tersebut dituduh menjadi penyebab tercemarnya air di seluruh wilayah tersebut, yang memicu beragam penyakit, termasuk kanker ganas. Bukan satu atau dua warga yang menderita penyakit itu, karena angka kasusnya adalah 15 kali angka rata-rata penderita kanker se-Amerika Serikat.

Singkat cerita, perusahaan kimia itu pun mengajukan banding. Tunggu dulu, jangan cepat-cepat bosan. Bukan denda itu yang membuat si pemilik perusahaan kalap. Dampak ikutannya yang membuat dia kemudian "memanfaatkan habis-habisan" sistem demokrasi untuk keuntungannya.

Kalah gugatan langsung berdampak pada kerugian senilai 1 miliar dollar AS pada perusahaan tersebut, kira-kira lebih dari Rp 11 triliun, hanya dalam waktu satu hari. Kerugian dari anjloknya harga saham.

Penurunan harga saham pun berlanjut dari waktu ke waktu. Harga saham yang semula di atas 30 dollar AS, dalam hitungan pekan anjlok sampai di bawah 10 dollar AS per lembar.

Dana kampanye, pencitraan, penokohan, dan kenaifan

Kasus perusahaan kimia melawan warga negara itu kebetulan bersamaan waktunya dengan habisnya periode masa jabatan hakim agung negara bagian federal.

Kebetulan pula, hakim agung yang bakal habis periode jabatannya dan harus ikut pemilihan untuk bisa jadi hakim agung lagi adalah sosok moderat yang selama ini dikenal sangat teliti dan rasional menelaah kasus banding.

Maka, langkah pertama pemilik perusahaan kimia tersebut adalah merekrut perusahaan konsultan pemenangan pemilu, dengan kesepakatan ongkos 8 juta dollar AS.

Tujuan kerja sama ini, tak ada satu sen pun uang perusahaan harus keluar untuk membayar denda dan setiap sen yang hilang dari jatuhnya saham harus kembali, bahkan kalau bisa berlipat.

Syarat kesepakatan dengan konsultan tersebut cuma satu, yakni tak sekali pun nama perusahaan kimia muncul terkait dengan apa pun yang dilakukan untuk mengalahkan hakim moderat. Tak ada catatan di sumbangan dana kampanye maupun segala isi materi kampanye.

Maka, urutan cerita kemudian adalah kemunculan figur ideal yang "sempurna", tanpa cacat, mewakili psikologi rakyat setempat yang didominasi kaum konservatif.

Muncullah sosok ganteng, aktif di tempat ibadah, menjadi pelatih tim olahraga setempat, dan mempunyai keluarga harmonis dengan anak-anak manis. Isu yang diangkatnya mewakili kegelisahan dan kegeraman para pemilih.

Sementara si hakim moderat dibantai dengan isu bahwa dia penganut aliran liberal, berpihak pada penjahat, dan pengambil keputusan yang buruk. Secara bersamaan, dimunculkan pula tokoh kontroversial, abal-abal, yang secara frontal dan vulgar menghajar si hakim moderat.

Di belahan lain negara bagian itu, bank yang memberi kredit kepada pengacara pembela warga wilayah "limbah" perusahaan kimia dibeli pula oleh si pemilik perusahaan kimia. Tentu, melalui perusahaan lain yang tak terlacak kaitannya dengan perusahaan kimia. Pasangan pengacara warga itu dibangkrutkan dari sisi hukum dan finansial.

Dana kampanye yang sudah dibatasi ketat di Amerika diakali kubu "figur ideal" dengan memanfaatkan celah waktu audit menjelang hari pemilihan. Daftar pemilih dipelajari sungguh-sungguh untuk memetakan suara dan memperkirakan berapa persen hak pilih yang akan digunakan.

Singkat cerita, hakim moderat kalah telak, dengan pemilihan yang diikuti oleh sekitar 60 persen pemilih saja. Hakim "ideal" terpilih tanpa pernah tahu siapa penyusun skenario kemunculannya maupun kepentingannya.

Warga terbuai dengan gambaran figur ideal, tanpa peduli ketiadaan rekam jejak maupun minimnya kapasitas si sosok "ideal". Hakim moderat, sebenar apa pun pandangan hukumnya, ditebas hak one man one vote, yang hanya digunakan oleh 60 persen pemilih.

Inilah demokrasi

Hingga tibalah hari-hari hakim agung baru ikut dalam pengambilan keputusan kasus banding. Kerap kali dalam kasus pelik, suaranya sebagai "si orang baru" menentukan hasil akhir, saat posisi sebelum suaranya adalah imbang antara pendukung atau penentang putusan pengadilan negara bagian dari delapan hakim agung lain.

Atas nama semua janji kampanye, hakim agung yang baru ini membatalkan kemenangan gugatan dari ibu seorang anak yang cedera permanen tersambar lontaran logam yang terlontar karena mesin pemotong rumput. Alasannya, tak bisa dipastikan perusahaan pembuat alat dan operator mesin itu telah melakukan kelalaian yang menyebabkan insiden dan cacat pada anak itu.

Dilema terjadi ketika anak si hakim yang jagoan bisbol terhantam bola di tengah pertandingan. Ternyata alat pemukul yang dipakai lawan menyalahi ketentuan federasi, tetapi tak pernah ada penarikan alat oleh perusahaan pembuatnya. Diperparah, dokter rumah sakit salah mengambil hasil scan kepala anak si hakim. Anak itu pun cacat permanen.

Si hakim agung "ideal" baru bisa memikirkan anak cacat korban alat pemotong rumput pada saat anaknya sendiri tak akan pernah lagi bisa berlari di lapangan. Anaknya cacat permanen karena alat ilegal yang tak pernah ditarik produsennya dan karena telat penanganan akibat kecerobohan dokter.

Tetapi, atas nama janji kampanye, hakim "ideal" ini tak bisa menggugat produsen maupun si dokter. "Itu sama saja menjilat ludah sendiri," ujar dia. Sama naifnya dengan para pemilih yang disodori fakta hitam putih tanpa menelaah dan merasionalkan penilaiannya.

Pada akhirnya, dalam situasi itu, hakim agung "ideal" itu memutuskan perusahaan kimia di awal cerita memenangi sidang banding. Sebuah catatan "putusan ini saya buat dengan kebimbangan luar biasa" tak punya arti dalam kacamata hukum.

Pada hari putusan dibuat, perusahaan kimia seketika menangguk keuntungan 3 miliar dollar AS, setara Rp 33 triliun. Sementara pengacara warga yang penyakitan dengan utang 400.000 dollar AS mengajukan kepailitan, tak pernah ada pembersihan zat kimia di kota itu, dan warga yang terkena kanker tak sesen pun mendapatkan ganti rugi.

Otak pemenangan si hakim agung baru itu, konsultan yang direkrut perusahaan kimia, hanya berkomentar ringan, "Terima kasih demokrasi. Rakyat yang menentukan pilihan." Pada hari putusan dibuat, kontrak lain bertujuan serupa sudah mengantre, dengan nilai jasa berlipat kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar