Senin, 25 November 2013

Indonesia Tak Ingin WCF Jadi Piala Bergilir

NUSA DUA, BALI, KOMPAS.com--Hari ini World Culture Forum (WCF) menyelesaikan beberapa agenda yang telah dijadwalkan. Sejak dbuka oleh Presiden SBY pada pukul 10.00 Wita, dilanjutkan pemaparan wacana budaya oleh Prof Dr Amartya Sen (Pemenang Nobel Ekonomi/ Harvard University) dan Dr. Fareed Zakaria (Intelektual/ komentator di CNN).

Semula, seusai pemaparan oleh kedua pembicara kunci tersebut tidak akan dilakukan tanya jawab, namun karena tingginya antusiasme peserta, maka DR Azumardi Azra yang bertindak sebagai moderator membuka kesempatan kepada peserta diskusi untuk bertanya.

Dari materi yang disampaikan oleh Prof Amartya, terungkap bahwa hubungan antarnegara telah dibangun sejak lama, yakni pada era Kerajaan Sriwijaya. "Menurut Pak Amartya, Indonesia telah memiliki tradisi ilmiah. Pada abad VII, Indonesia telah menjadi pusat peradaban. Banyak warga China dan India datang ke Sriwijaya untuk menuntut ilmu. Tradisi ini akan kita kembangkan, sehingga bukan hanya kita yang menuntut ilmu ke luar negeri, melainkan orang luar negeri juga datang ke Indonesia untuk belajar. Sehingga kondisinya akan berimbang, ada pertukaran pelajar yang  nyata. Itu yang saya tangkap dari Prof Amartya dan Dr Fareed Zakaria," ungkap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh kepada wartawan di Nusa Dua, Senin sore, (25/11/13).

Sementara sesi kedua setelah makan siang, agenda yang digelar adalah pandangan dari 14 negara tentang pelaksanaan WCF, termasuk pengalaman mereka terhadap pengembangan budaya di masing-masing negara asal peserta. Salah satu yang menarik adalah yang diungkap oleh delegasi dari Brazil, yang mengungkapkan bahwa pemerintah Brazil berupaya mendekatkan kegiatan yang berbasis budaya dengan masyarakat. Karena, menurut delegasi dari Brazil yang bernama Marcelo Pedroso, selama ini budaya cenderung larinya ke elitisme.

Marcelo pun mengajukan pertanyaan, bagaimana jika masyarakat ingin menyaksikan pertunjukan opera dengan tiket mahal? Pun demikian yang terjadi di Indonesia, betapa masyarakat Indonesia banyak yang tidak sanggup menyaksikan Java Jazz karenatiket yang mahal. Cara yang diambil Brazil menurut Marcelo, adalah memberi kartu yang bisa dipakai untuk menonton film dan menyaksikan pertunjukan. Dalam hal ini peran pemerintah sangat penting untuk memberi subsidi bagi seniman agar mereka dapat menutup ongkos produksi dan juga sebagai honor.

Hal-hal seperti inilah, kata M Nuh, yang akan menjadi masukan bagi "Bali Promise", selain juga dari pidato Presiden SBY, pidato dua pembicara kunci, para pakar, NGO, dan lain-lain sehingga akan dihasilkan rekomendasi.

Mengenai kelanjutan WCF, Nuh tegas mengatakan, Indonesia tak ingin WCF menjadi piala bergilir. "Karena kita ingin menjadi based culture, menjadi global home atas semua dialog yang menyangkut kebudayaan," ujar Nuh.

Saat Kompas.com mengajukan pertanyaan, mengapa tak ada Kepala Negara yang hadir, seperti yang  telah direncanakan sebelumnya, Nuh memberi alasan, "Kita baru menyelenggarakan APEC bulan lalu, maka kita menyadari bahwa tidak mungkin seorang kepala negara datang berkali-kali ke sebuah negara dalam waktu yang berdekatan. Tapi kami bersyukur, acara ini dihadiri oleh 65 negara, sebuah jumlah yang mengagumkan jika dibanding dengan acara-acara internasional yang diselenggarakan oleh negara lan. InsyaAllah, dengan konsistensi yang kita miliki, WCF akan terus berkembang dan akan kita selenggarakan setiap dua tahun sekali. Untuk itu, mau tidak mau, WCF kedua pada 2015 nanti akan kita masukkan ke APBN. Saya harapkan, pemerintah ke depan masih bisa melaksanaan WCF."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar