JAKARTA, KOMPAS.com — Diskriminasi dan kekerasan
terhadap kelompok-kelompok minoritas masih saja berlangsung di
Indonesia. Selain akibat penegakan hukum lemah, kondisi itu diperparah
dengan adanya kelompok-kelompok politik yang bermain dan berusaha
memanfaatkan sentimen perbedaan untuk kepentingannya.
”Diskriminasi
terhadap kelompok-kelompok minoritas, terutama keyakinan beragama,
masih terus berlangsung. Faktor penyebabnya soal politik. Kepentingan
politik membuat masalah itu muncul dan meruncing lagi,” kata Sinta
Nuriyah Wahid, istri mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, dalam
pembukaan ”Dengar Kesaksian Para Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM)” di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Senin (25/11).
Forum
yang digelar Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) itu
menghadirkan 32 saksi korban pelanggaran HAM di seluruh Indonesia.
Mereka menceritakan pengalaman kekerasan yang dialami dan perjuangan
kembali menjadi manusia. Kisah mereka didengarkan, dicatat, dan didalami
Majelis Warga yang juga berasal dari sejumlah daerah di Indonesia.
Sinta
Nuriyah Wahid mengungkapkan, faktor politik yang mendorong kekerasan
dapat dilihat dalam sejumlah pemilihan kepala daerah (pilkada).
Menjelang pemilihan biasanya ada upaya memanfaatkan sentimen mayoritas
yang menekan minoritas, termasuk lewat cara-cara kekerasan. Permainan
itu ditujukan untuk memperoleh simpati dari mayoritas yang diharapkan
meningkatkan elektabilitas kelompok politik tertentu.
”Kalau mau
ada pilkada, kekerasan terhadap kelompok minoritas itu cenderung
menguat. Masyarakat hendaknya menyadari kondisi ini dan jangan mudah
terprovokasi. Percayalah kepada diri sendiri dan jangan mudah
terpancing,” katanya.
Kelompok-kelompok minoritas harus terus
memperjuangkan keadilan dan kebenaran tanpa henti. Dengan begitu, publik
luas dan pemerintah semakin terbuka matanya tentang keadilan dan
kebenaran. Saat bersamaan, pemerintah diminta untuk menjalankan
konstitusi yang melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan.
”Pemerintah
harus bertindak tegas untuk memisahkan antara politik dan perlakuan
terhadap minoritas. Dalam situasi politik apa pun, kelompok minoritas
harus diperlakukan secara sama dan memperoleh keadilan. Jangan untuk
kepentingan mendapat suara, lalu muncul diskriminasi kepada
kelompok-kelompok kecil,” katanya.
Dalam forum ”Dengar
Kesaksian”, sejumlah orang mengisahkan pelanggaran HAM yang dialaminya.
Kristina Sumarniati asal Yogyakarta, misalnya, menceritakan dua kali
dipenjara akibat salah tangkap setelah peristiwa kekerasan 1965. Selama
penangkapan, proses interogasi, dan penjara, perempuan itu mengalami
kekerasan dalam berbagai cara yang sangat tidak manusiawi.
Kesaksian
lain disampaikan Net Markus dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Delapan
keluarganya ditangkap, sebagian hilang, setelah peristiwa 1965. Mereka
disiksa, dihilangkan, dan dilanggar haknya sebagai manusia tanpa proses
peradilan. ”Saya menuntut pemerintah untuk meminta maaf dan menegakkan
keadilan. Generasi baru harus tahu cerita sebenarnya,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar