KOMPAS.com - Guru yang kreatif, inovatif, penuh
semangat, empati, dan luwes berperan sebagai fasilitator adalah gambaran
guru ideal. Sayang, guru ideal tak mudah ditemukan atau diciptakan.
Padahal, mereka justru paling dibutuhkan untuk memberikan bekal
keterampilan hidup kepada generasi muda.
Kondisi guru di berbagai
negara, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, ternyata hampir
sama. Jumlah yang tak mencukupi hingga kualitas guru yang minim akibat
keterbatasan fasilitas pendukung proses pembelajaran menjadi tantangan
bersama. Setidaknya tantangan itu yang dirasakan 1.200 peserta forum
tahunan World Innovation Summit for Education (WISE) Ke-5, 28-31 Oktober
lalu, di Doha, Qatar.
Dalam forum yang kali ini bertema
”Reinventing Education for Life”, persoalan di jenjang pendidikan dasar
masih menjadi fokus utama mengingat adanya tenggat Tujuan Pembangunan
Milenium pada 2015. Akses pada pendidikan dasar yang berkualitas menjadi
kendala terbesar di banyak negara, terutama negara berkembang dan
miskin serta negara yang dilanda bencana dan konflik.
Hampir di
semua sesi diskusi panel, debat, hingga workshop selama tiga hari, para
peserta sepakat bahwa keterbatasan akses bukan satu-satunya penghambat
pendidikan berkualitas, tetapi juga kualitas guru. Dalam forum ini peran
dan fungsi guru digugat dan dipertanyakan, terutama guru yang masih
mengajar dengan gaya kaku konvensional, satu arah, tanpa proses dialog
atau diskusi dengan murid seperti mayoritas sekolah di Indonesia.
Bahkan, guru dianggap sebagai penyebab lahirnya generasi yang tidak
memiliki keahlian atau keterampilan hidup yang dibutuhkan abad XXI.
Menyiapkan anak
Menurut
sosiolog, filsuf, dan kepala peneliti di National Centre for Scientific
Research (CNRS), Edgar Morin, tugas guru yang paling fundamental pada
abad XXI justru menyiapkan anak agar siap menghadapi realitas kehidupan
yang kian kompleks dan serba tidak jelas. Dunia pendidikan saat ini,
khususnya guru, tidak mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang utuh.
Tidak juga diajarkan untuk memahami hubungan antarindividu yang justru
penting untuk menekan konflik dan perpecahan yang kian sering terjadi.
Materi ajar yang dipelajari di sekolah seakan terlepas dan tidak terkait
dengan kehidupan sehari-hari anak.
”Pendidikan tidak membekali
anak untuk mampu menghadapi masalah riil sehari-hari. Anak tidak paham
karena setiap bidang ilmu terpisah satu sama lain. Misalnya, soal otak
manusia. Otak dipelajari di Biologi, sementara alam pikiran manusia di
Psikologi. Yang dipelajari, kan, bagian tubuh yang sama, otak. Pemisahan
seperti ini justru mendorong ketidakpedulian dan tidak kritis,” kata
Morin seusai sesi diskusi.
Belajar tanpa guru
Guru
yang tak kritis dan tak kreatif akan lebih memilih cara mudah mengajar
di depan kelas, menyampaikan informasi saja tanpa membuka kesempatan
diskusi dengan murid. Murid hanya diminta menghafalkan materi ajar lalu
diujikan. Tidak ada proses mengolah informasi, menggali lebih dalam, dan
mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari.
Karena banyaknya
guru yang seperti ini, terutama di sekolah formal, mulai muncul ”gerakan
belajar tanpa guru”. Bahkan, dalam salah satu hasil voting di WISE 2013
disebutkan dunia pendidikan sesungguhnya tak perlu guru, apalagi guru
konservatif. Toh sekarang segala informasi mudah didapat dari dunia maya
berkat kemajuan teknologi informasi sehingga setiap orang bisa
mengedukasi dirinya sendiri. Siapa pun bisa menjadi guru asalkan
memenuhi kriteria guru ideal.
Namun, menurut Presiden Teaching
Profession International Observatory Universidad ORT Uruguay Denise
Vaillant, profesi guru tidak akan bisa dihilangkan atau digantikan
dengan teknologi canggih sekalipun. Persoalan utamanya hanyalah perlunya
guru berkualitas dan profesional. ”Jangan hanya guru yang disuruh
berubah, tetapi harus diikuti perbaikan sistem pendidikannya,” ujarnya
dalam sesi debat ”Can We Have Education Without Teachers?”.
Bagi
penerima penghargaan WISE Prize 2013 dari Kolombia, Vicky Colbert, guru
yang berkualitas tidak dilihat hanya dari gelar S-2 atau S-3 yang
disandangnya, tetapi lebih pada kemampuannya menjadi fasilitator. Proses
pembelajaran yang berhasil bisa dilihat dari ruang kelas yang dinamis,
hidup, dan penuh ide kreatif dari murid. ”Sebagai fasilitator, guru
harus keliling memantau perkembangan setiap muridnya dan mengajak mereka
terus berdiskusi tentang berbagai hal,” ujarnya.
Keajaiban
Indonesia
bisa saja mendapatkan guru dengan kualitas seperti itu jika alokasi
anggaran untuk guru difokuskan pada perekrutan dan pelatihan. Pakar
pendidikan dan Direktur Jenderal Center for International Mobility and
Cooperation Finlandia, Pasi Sahlberg, menjelaskan, itulah yang selama
ini dilakukan Finlandia. Singapura dan Kanada juga melakukan hal serupa.
Guru dianggap sebagai profesi bergengsi. Karena perekrutan dan
pelatihan yang dititikberatkan, jumlah alokasi anggaran pendidikan ke
setiap sekolah akan sama.
”Tidak semua orang bisa jadi guru di
Finlandia. Biasanya hanya ada satu dari 10 calon guru yang akan lolos
seleksi. Pendidikan minimal S-2 dan proses pelatihannya minimal lima
tahun. Untuk menjadi guru berkualitas butuh waktu minimal 7-8 tahun,”
kata Sahlberg.
Jika guru terbaik dari Finlandia diimpor ke
Indonesia atau negara lain yang juga membutuhkan, apakah akan bisa
memperbaiki kualitas pendidikan yang ada? Sahlberg tegas menjawab,
tidak! Guru dari Finlandia tidak akan bisa membuat keajaiban jika tidak
didukung sistem pendidikan yang benar. Tidak akan ada perubahan yang
signifikan jika kurikulum dan sistem pendidikannya tidak diubah. Guru
itu seperti pemain dalam tim sepak bola saja. Tetap butuh kepemimpinan
yang baik, strategi yang tepat, sikap baik, kerja sama tim, dan sistem
permainan yang kuat.
”Setiap anak harus dapat akses terhadap
level pembelajaran yang sama. Dengan bekal kepemimpinan yang baik, visi
yang jelas, dan guru berkualitas, kondisi pendidikan bisa diperbaiki,”
kata Sahlberg.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar