JAKARTA, KOMPAS.com - Peretas situs resmi The
Reserve Bank of Australia dan Australian Federal Police yang mengaku
sebagai kelompok Anonymous Indonesia belum tentu benar-benar orang
Indonesia. Bisa saja hal itu hanya klaim.
"Kalau mengatasnamakan orang Indonesia, belum tentu orang
Indonesia. Jadi ini harus diteliti dulu mulai dari pusat datanya,
caranya meretas seperti apa, kemudian ditelusuri lagi sehingga kami
belum bisa memastikan apakah itu orang Indonesia," kata Direktur Tindak
Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Arief Sulistyanto di
Mabes Polri, Jakarta seperti dikutip Antara, Jumat (22/11/2013).
Menurut jenderal bintang satu itu, peretas atau "hacker" pastinya
adalah orang yang benar-benar menguasai masalah teknologi informasi
sehingga tidak mungkin menggunakan identitas asli mereka. "Tidak mungkin
mereka meretas menggunakan identitas asli, itu pasti 'hacker' yang
jujur alias bodoh," katanya.
Arief menjelaskan, dalam direktoratnya ada bagian khusus yang
menangani masalah kejahatan dunia maya (cyber crime). Dalam penanganan
kasus perestasan, hal pertama yang harus dilihat adalah lokasi "data
center" atau pusat data.
Dalam kasus peretasan sejumlah situs pemerintahan Australia,
penegakan hukum dilakukan di lokasi kejadian sesuai dengan yurisdiksi
penegak hukum setempat.
"Dilihat juga bagaimana cara meretasnya, apakah diretas dengan
metode DOS, DDoS, atau 'device' (alat). Baru kemudian dicari pelakunya
yang dipastikan oleh 'IP address'," katanya.
Setelah ditemukan "IP address" pun, lanjut Arief, belum tentu
bisa dipastikan yang bersangkutan benar orang Indonesia atau berada di
Indonesia karena banyaknya perangkat lunak (software) yang digunakan
untuk memanipulasi.
Sebelumnya ,Kementerian Komunikasi dan Informatika mengaku belum
mendapatkan kejelasan informasi terkait peretasan situs resmi The
Reserve Bank of Australia (RBA) dan Australian Federal Police (AFP) yang
diduga dilakukan kelompok Anonymous Indonesia.
"Sejauh ini kami belum mendapatkan fakta-fakta seperti itu. Hanya
kabar-kabar saja," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul
Sembiring selepas rapat tertutup dengan sejumlah jajaran direksi
operator telekomunikasi di Jakarta Kamis kemarin.
Kegiatan peretasan yang datang dari dalam negeri, menurut
Tifatul, melanggar Undang-undang No 8 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) dan melanggar hubungan internasional dalam
ketentuan Konvensi Ruang Siber (convention on cyberspace).
Dugaan serangan kelompok yang menyebut diri mereka Anonymous
Indonesia terhadap RBA dan AFP terjadi menyusul penyadapan sejumlah
pejabat publik Indonesia oleh Australia dan Amerika Serikat.
Radio Australia melaporkan peretas yang mengaku anggota kelompok
Anonymous Indonesia menyatakan bertanggung jawab atas serangan cyber
terhadap website Kepolisian Federal Australia (AFP), dan website Bank
Sentral Australia (RBA).
"ABC mencoba mengakses website AFP, www.afp.gov.au, Kamis
(21/11/2013) Pukul 12:00 siang waktu Melbourne, namun tidak bisa
terbuka. Tapi website RBA di www.rba.gov.au tampaknya tidak mengalami
masalah," tulis Radio Australia di situs Internet mereka.
Kepolisian Federal Australia maupun Bank Sentral Australia,
seperti disebut dalam laporan Radio Australia, menyatakan situs Internet
mereka memang mengalami serangan pada Rabu (20/11/) malam. Tapi, kedua
institusi Australia itu menjamin tidak ada informasi sensitif yang
berhasil diperoleh oleh para peretas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar